TUGAS MAKALAH
KELOMPOK
KEDUDUKAN BIRRUL WALIDAIN DAN
BENTUK-BENTUK BIRRUL WALIDAIN
Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas Makalah Kelompok Mata Kuliah
AKHLAK 1
Dosen Pengampu : Amin Efendi, M.Pd.I
Disusun Oleh :
1.
Andri Nurfajri (1501010241)
2.
Dewi Istiana (1501010030)
3.
Lailatul Khasanah (1501010268)

Program
Studi : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Jurusan
: Tarbiyah
Kelas
: A
Semester
: III
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
1437 H/2016
KATA PENGANTAR

Rasa
syukur yang sangat mendalam kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah Akhlak 1 sebagaimana mestinya. Salam
dan salawat semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarga,
serta para sahabatnya.
Dimana makalah ini penulis susun sebagai tugas mata
kuliah Akhlak 1 yang diampu oleh Bapak Amin Efendi, M.Pd.I. Makalah ini
membahas tentang Kedudukan Birrul Walidain dan Bentuk-bentuk Birrul Walidain.
Agar mahasiswa dapat memahami dan mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Adapun pada
kesempatan ini penyusun menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Kedua
orang tua kami yang telah mendukung dan memberi motivasi kepada kami agar
selalu giat menuntut ilmu
2. Bapak Amin Efendi, M.Pd.I.
selaku dosen pembimbing mata kuliah Akhlak 1 yang telah memberikan
bimbingan kepada kami
3. Teman-teman
yang telah membantu dan memberikan semangat kepada kami dalam penyusunan
makalah ini.
Kami
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, untuk itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami perlukan demi perbaikan
dan pembuatan makalah kedepanya. Semoga dengan pembuatan makalah ini dapat
memberikan manfaat khususnya bagi kami dan kepada para pembaca.
Metro, 13
September 2016
Penulis
DAFTAR ISI
COVER DEPAN ................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... .. ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ......................................................... .. 1
B.
Rumusan Masalah ................................................................... .. 1
C.
Tujuan Masalah ....................................................................... .. 1
BAB II : PEMBAHASAN
A.
Pengertian Birrul Walidain........................................................ 2
B.
Kedudukan Birrul Walidain................................................... .. 3
C.
Bentuk-Bentuk Birrul Walidain ............................................... 6
D.
Pahala Birrul Walidain ........................................................... 8
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 12
B. Kritik Dan Saran..................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Orang tua adalah orang yang paling berjasa dalam hidup
kita. Mereka orang yang selalu memberikan kasih sayang kepada kita sejak kita
lahir keduania sampai kapanpun mereka akan tetap memberikan kasih sayangnya
kepada kita. Tidak ada sedikitpun keluh kesah yang mereka ungkapkan,
membesarkan kita dengan kasih sayangnya, memberi kita makan dengan penuh
keikhlasan, mendidik kita dengan kesabaran penuh cinta, dan masih banyak
jasa-jasa orang tua kita yang tidak akan pernah terbalas.
Islam telah mengajarkan agar kita selalu berbakti dan
patuh kepada orang tua kita, karena dengan perantara orang tualah kita dapat
merasakan hidup di dunia ini. Berbakti kepada kedua orang tua adalah hal yang sangat
dianjurkan oleh Allah swt karena orang tua adalah orang yang harus dihormati
oleh semua anaknya.
Maka disini penulis akan memaparkan secara rinci tentang
bagaimana kedudukan birrul balidain dan apa saja bentuk-bentuk birrul walidain.
Dan makalah ini disertai dengan dalil-dalil yang mendukung paparan diatas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian birrul walidain?
2. Apa kedudukan birrul walidain?
3. Apa saja bentuk-bentuk birrul walidain?
4. Apa pahala birrul walidain?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian birrul walidain.
2. Untuk mengetahui kedudukan birrul walidain.
3. Untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk birrul
walidain.
4. Untuk mengetahui pahala birrul walidain.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Birrul Walidain
Birrul walidain terdiri dari dua kata yaitu
al-birru dan al-walidain. Kata al-birru berarti kebaikan. Sedangkan al-walidain
berarti kedua orang tua atau ibu dan bapak. Jadi yang dimaksud birrul walidain
adalah berbuat baik kepada kedua orang tua.
Allah telah memerintahkan berbuat baik kepada kedua orang tua,
terutama saat mereka sudah berusia lanjut, dan melarang berbuat jahat kepada
mereka. Didalam Al-Qur’an birrul walidain mempunyai
makna yang sama dengan istilah ihsan, seperti yang terdapat dalam surat
Al-Isra’ ayat 23 :
* 4Ó|Ós%ur y7/u wr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$Î) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7t x8yYÏã uy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdxÏ. xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJÌ2 ÇËÌÈ
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.[1]
Melalui ayat tersebut,
secara tegas Allah telah memerintahkan kepada setiap orang untuk berbuat baik
kepada kedua orang tuanya. Perintah untuk berbuat baik didalam ayat tersebut
diistilahkan dengan kata al-birri, yang secara umum dapat diartikan dengan
semua perbuatan, perkataan, atau sikap seorang anak yang membanggakan dan
membahagiakan ibu bapaknya. Semua perbuatan anak jika disaksikan oleh orang
tuanya, hati mereka merasa senang dan bangga, maka perbuatan itu disebut
berbuat baik terhadap kedua orang tua. Sebaliknya setiap tindakan anak yang
tidak disenangi oleh orang tua termasuk perbuatan mendurhakai keduanya, baik
dilakukan dihadapan maupun ditempat yang tidak dilihat dan didengar oleh merka.
Tetapi bila kabar perbuatan itu sampai kepada keduanya lalu mereka merasa malu
dan sakit hati, maka sama halnya dengan menyakiti hati merka.[2]
B. Kedudukan Birrul Walidain
Dalam ajaran agam Islam birrul walidain
menempati rangking kedua setelah beribadah kepada Allah swt dengan
mengesakan-Nya. Birrul walidain mempunyai kedudukan yang istimewa dalam ajaran
Islam. Allah dan Rasul-Nya menempatkan orang tua pada posisi yang sangat
istimewa, sehingga berbuat baik kepada keduanya menempati posisi yang sangat
mulia, dan sebaliknya berbuat durhaka kepada keduanya menmpati posisi yang
sangat hina. Karena mengingat jasa ibu bapak yang sangat besar sekali dalam
proses reproduksi dan regenerasi manusia.
Secara khusus Allah juga mengingatkan betapa
besar jasa dan perjuangan seorang ibu dalam mengandung, menyusui, merawat dan
mendidik anaknya. Kemudian bapak, meskipun bapak tidak ikut mengandung tetapi
berperan besar dalam mencari nafkah, membimbing, melindungi, membesarkan dan
mendidik anaknya, sehingga mampu berdiri bahkan sampai waktu yang sangat tidak
terbatas.[3]
Rasulullah juga menganjurkan berbakti kepada
kedua orangtua dan menempatkannya dibawah tingkatan shalat saat beliau ditanya
mengenai amal perbuatan yang paling afdhal. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia
berkata:
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ الْوَلِيدُ بْنُ عَيْزَارٍ أَخْبَرَنِي قَالَ سَمِعْتُ
أَبَا عَمْرٍو الشَّيْبَانِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَنَا صَاحِبُ هَذِهِ الدَّارِ
وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ إِلَى دَارِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ
الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ
ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي بِهِنَّ
وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Al Walid
telah menceritakan kepada kami Syu'bah berkata: Al Walid bin 'Aizar telah
mengabarkan kepadaku dia berkata: saya mendengar Abu 'Amru Asy Syaibani
berkata; telah mengabarkan kepada kami pemilik rumah ini, sambil menunjuk
kerumah Abdullah dia berkata: saya bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam; "Amalan apakah yang paling dicintai Allah? Beliau bersabda: "Shalat tepat pada waktunya." Dia
bertanya lagi; "Kemudian apa?" beliau menjawab: "Berbakti kepada
kedua orang tua." Dia bertanya; "Kemudian apa lagi?" beliau
menjawab: "Berjuang di jalan Allah." Abu 'Amru berkata; "Dia
(Abdullah) telah menceritakan kepadaku semuanya, sekiranya aku menambahkan
niscaya dia pun akan menambahkan (amalan) tersebut kepadaku." (HR. At-Tirmizi).
Khusus untuk ibu, Allah swt memberikan penekanan dan
anjuran lebih agar berbuat baik kepadanya karena faktor kelemahannya dan
mengingat beban berat yang ditanggungnya selama masa kehamilan dan saat
melahirkan. Kemudian saat menyusui dan mengasuh. Allah swt berfirman dalam (QS.
Al-Ahqaf [46]: 15) :
$uZø¢¹urur
z`»|¡SM}$# Ïm÷yÏ9ºuqÎ/ $·Z»|¡ômÎ) ( çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $\döä. çm÷Gyè|Êurur $\döä. ( ¼çmè=÷Hxqur ¼çmè=»|ÁÏùur tbqèW»n=rO #·öky 4 #Ó¨Lym #sÎ) x÷n=t/ ¼çn£ä©r& x÷n=t/ur z`Ïèt/ör& ZpuZy tA$s% Éb>u ûÓÍ_ôãÎ÷rr& ÷br& tä3ô©r& y7tFyJ÷èÏR ûÓÉL©9$# |MôJyè÷Rr& ¥n?tã 4n?tãur £t$Î!ºur
Artinya: “Kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah
(pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga
apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa:
"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau
berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku”
Hal ini dipertegas oleh Rasulullah saw dengan menyebut
ibu beberapa kali ketika ada orang ynag bertanya mengenai manusia yang paling
berhak diberikan bakti baik. Yaitu dalam sebuah hadist Rasulullah saw :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ
صَحَابَتِي؟قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟
قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, beliau berkata: “Seseorang datang kepada Rasulullah saw dan
berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’. Nabi saw menjawab,
‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’. Nabi saw
menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’.
Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa
lagi,’ Nabi saw menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari)
Sementara itu, bapak sebagai kepala rumah tangga bekerja
keras membanting tulang demi menghidupi keluarganya dan menyediakan kehidupan
yang layak bagi mereka. Mengingat jasa besarnya, Rasulullah saw pun memberikan
arahan bahwa ridha Allah swt tergantung pada ridha bapak. Diriwayatkan ari Abdullah
bin Amru r.a, dari Nabi saw, beliau bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رِضَى الرَّبِّ
فِي رِضَى الْوَالِدِ وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
Artinya: Dari Abdullah bin Amr radliallahu 'anhuma dari
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Ridha Allah
terdapat pada ridha seorang ayah, dan murka Allah juga terdapat pada murkanya
seorang ayah." (HR. At-Tirmidzi)
Durhaka kepada kedua orang tua dan berbuat
jahat terhadap mereka dalam bentuk apapun merupakan perbuatan dosa besar. Hal
ini diperingatkan keras oleh Rasulullah saw setelah memperingatkan bahaya
syirik, menyekutukan Allah swt. Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abu Bakar
dari Ayahnya dia berkata: Rasulullah saw bersabda:
أَلاَ أُنَبِّئُكُم بِأَكْبَرِ
الْكَبَائِرِ؟ ثَلاَثًا قُلْنَا : بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ :
أَلأِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ، وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ
فَقَالَ: أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ، فَمَازَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا :
لَيْتَهُ سَكَتَ
“Apakah kalian mau saya beritahu dosa yang
terbesar dari dosa-dosa?” (beliau mengulanginya sampai) tiga kali. Sahabat
berkata, ‘benar ya Rasulullah’, beliau bersabda: “ yaitu menyekutukan Allah dan
durhaka kepada kedua orang tua. Ketika itu melanjutkan pembicaraannya:
“Ingatlah (jangan kau lakukan) perkataan bohong dan kesaksian palsu.” Beliau
mengulangi perkataannya itu sehingga kami mengharapkan beliau menghentikan
sabdanya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).[4]
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa sangat wajar dan logis jika anak dituntut untuk
berbuat baik kepada orang tuanya dan dilarang untuk mendurhakainya.
C. Bentuk-Bentuk Birrul Walidain
Berbuat baik kepada orang tua merupakan
kewajiban seorang anak. Sehingga kita berkewajiban melaksanakan apa yang telah
diperintahkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Banyak cara bagi seorang anak
untuk dapat mewujudkan birrul walidaian, dan adapun bentuk-bentuk birrul
walidain di antaranya yaitu:
1.
Taat dan patuh terhadap perintah kedua orang tua, taat dan patuh dalam
nasihatnya, dan perintahnya selama tidak menyuruh berbuat maksiat atau
berkemusyrikan, tolak dengan cara yang halus dan kita tetap menjali hubungan
dengan baik.
2.
Senantiasa berbuat baik terhadap kedua orang tua
3.
Mengikuti keinginan dan sarang orang tua dalam berbagai aspek kehidupan
4.
Membantu ibu bapak secara fisik dan materil
5.
Senantiasa mendo’akan ibu bapak
6.
Menjaga kehormatan dan nama baik mereka
7.
Menjaga, merawat ketika mereka sakit[5]
8.
Meninta izin kepada mereka sebelum berjihad dan pergi untuk urusan lainnya
9.
Memberi harta kepada orang tua
Memberi harta kepada orang tua menurut jumlah yang mereka
inginkan Rasulullah saw pernah bersabda kepada seorang laki-laki ia berkata:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ إِنَّ لِي مَالٌ وَ إِنَّ
أَبِيْ يُرِيْدُ أَنْ يَأْخُذَ مَالِيْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلِيْهِ وَ سَلَّمَ : أَنْتَ وَ مَالُكَ لِأَبِيْكَ
Artinya: Dari sahabat Jabir bin Abdillah semoga Allah meridhoinya, ia
bercerita: "Suatu hari ada seseorang datang kepada Rasulullah dan
bertanya: Sesungguhnya aku memiliki harta, akan tetapi bapakku ingin mengambil
harta itu dariku? Rasulullah saw menjawab:
"Kamu dan hartamu milik bapakmu."
(Hadits
Riwayat Ibnu Majah dari Jabir, Thabrani dari Samurah dan Ibnu Mas’ud).
Oleh sebab itu,
hendaknya seseorang jangan bersikap bakhil (kikir) terhadap orang yang
menyebabkan keberadaan dirinya, memeliharanya ketika kecil dan lemah, serta
telah berbuat baik kepadanya.
10. Setelah orang tua meninggal, birrul walidain
masih bisa diteruskan dengan cara antara lain:
a. Mengurus jenazahnya dengan sebaik-baiknya
b. Melunasi semua hutangnya
c. Melaksanakan wasiatnya
d. Meneruskan silaturahmi yang dibinanya sewaktu
hidup
e. Memuliakan sahabat-sahabatnya
f. Mendoakannya[6]
D. Pahala Birrul Walidain
Allah telah menjanjikan orang-oarang yang
berbakti kepada kedua orang tuanya dengan kebaikan yang banyak di dunia dan
akhirat dan dia akan mendapatkan pahala yang besar di akhirat, dan diantaranya adalah
sebagai berikut:
1.
Dipanjangkan umurnya dan diperbanyak rizkinya
Adapun dalil
yang menerangkan hal tersebut adalah sebagai berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ
عَلَيْهِ رِزْقُهُ أَوْ يُنْسَأَ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Dari Anas bin Malik RA, dia
berkata, "Saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Barang siapa
ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung
tali silaturahim". Silaturahmi di sini juga termasuk silaturahmi kepada
orang tua.
2.
Birrul walidain merupakan
perantara menghilangkan bencana dan kesempitan yang melanda seorang hamba
Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari
Abdullah Ibnu Umar tentang kisah 3 orang yang terjebak di dalam gua. Diantara 3
orang tersebut ada satu orang yang bertawasul dengan birrul walidainya kepada
orang tuanya.
فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمُ اللَّهُمَّ
كَانَ لِى أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ ، وَكُنْتُ لاَ أَغْبِقُ قَبْلَهُمَا
أَهْلاً وَلاَ مَالاً ، فَنَأَى بِى فِى طَلَبِ شَىْءٍ يَوْمًا ، فَلَمْ أُرِحْ
عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَا ، فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوقَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا
نَائِمَيْنِ وَكَرِهْتُ أَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلاً أَوْ مَالاً ،
فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدَىَّ أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُمَا حَتَّى بَرَقَ
الْفَجْرُ ، فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا غَبُوقَهُمَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ
فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ
هَذِهِ الصَّخْرَةِ ، فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا لاَ يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ
Artinya: Salah seorang dari mereka berkata, “Ya Allah, aku mempunyai dua
orang tua yang sudah sepuh dan lanjut usia. Dan aku tidak pernah memberi minum
susu (di malam hari) kepada siapa pun sebelum memberi minum kepada keduanya.
Aku lebih mendahulukan mereka berdua daripada keluarga dan budakku (hartaku).
Kemudian pada suatu hari, aku mencari kayu di tempat yang jauh. Ketika aku
pulang ternyata mereka berdua telah terlelap tidur. Aku pun memerah susu dan
aku dapati mereka sudah tertidur pulas. Aku pun enggan memberikan minuman
tersebut kepada keluarga atau pun budakku. Seterusnya aku menunggu hingga
mereka bangun dan ternyata mereka barulah bangun ketika Shubuh, dan gelas
minuman itu masih terus di tanganku. Selanjutnya setelah keduanya bangun lalu
mereka meminum minuman tersebut. Ya Allah, jikalau aku mengerjakan sedemikian
itu dengan niat benar-benar mengharapkan
wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar
yang menutupi kami ini.” Batu besar itu tiba-tiba terbuka sedikit, namun mereka
masih belum dapat keluar dari goa.
Dari hadits tersebut jelas bahwa birrul walidain
bisa menjadi sarana bertawasul kepada Allah
untuk menghilangkan segala bencana yang melanda kita.
3.
Dikabulkan doanya
Birrul walidain
menjadikan pelakunya memiliki doa yang mustajab. Dari Umar bin Khatthab berkata, Aku mendengar Rasulullah bersabda:
يَأْتِي عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ
عَامِرٍ مَعَ أَمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ كَانَ
بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلا مَوْضِعَ دِرْهَمٍ ، لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا
بَرٌّ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ
يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ
Artinya: “Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama gerombolan
musafir dari negeri Yaman yang berasal dari daerah Murad kemudian berdiam di
daerah Qorn. Dia diuji oleh Allah
dengan penyakit kusta disekujur tubuhnya kemudian sembuh kecuali tinggal
bercakan sebesar dirham di tubuhnya. Dia mempunyai ibu dan sangat berbakti
kepadanya. Seandainya dia bersumpah dalam doanya tentu Allah akan mengabulkannya. Jika kalian mampu agar dia memohonkan ampun
kepada Allah untuk kalian maka lakukanlah.”(HR. Muslim)
4.
Birrul walidain merupakan sarana
penghapus dosa.
Birrul walidain juga merupakan sarana penghapus dosa. Hal ini sebagaimana
hadits nabi:
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى أَصَبْتُ ذَنْبًا عَظِيمًا فَهَلْ لِى مِنْ تَوْبَةٍ
قَالَ هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ. قَالَ لاَ.
قَالَ هَلْ لَكَ مِنْ خَالَةٍ. قَالَ
نَعَمْ. قَالَ فَبِرَّهَا
Artinya: “ Dari
Umar bahwasanya seorang laki-laki datang
kepada nabi dan berkata: Wahai
rosululloh sesungguhnya aku telah
terjatuh kepada suatu perbuatan dosa besar. Apakah bagi saya taubat?. Nabi
bersabda, Apakah engkau masih mempunyai Ibu? Diapun menjawab,
“Tidak.”Apakah engkau masih memiliki bibi dari pihak ibu?. Diapu menjawab,”Ya”.
Nabi bersabda; Maka berbuat baiklah
kepadanya.”(HR. Tirmidzi)
Tentang
kedudukan bibi dari pihak ibu nabi bersabda:
الخالة بمنزلة الأم
Artinya:“ Bibi
dari pihak ibu itu kedudukannya seperti seorang ibu(ketika ibu telah tiada). (HR.
Tirmidzi)
Dari hadits diatas jelas sekali bahwa berbakti kepada kedua orang tua
terutama kapada seorang ibu bisa menghapuskan dosa-dosa seseorang meskipun dosa
besar dengan izin Allah .
5.
Birrul walidain merupakan jalan
menuju jannah
وعَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ
رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – :” نِمْتُ فَرَأَيْتُنِي فِي الْجَنَّةِ،
فَسَمِعَتُ صَوْتَ قَارِئٍ يَقْرَأُ، فَقُلْتُ: مَنْ هَذَا ؟ قَالُوا: حَارِثَةُ
بْنُ النُّعْمَانِ “، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – :” كَذَاكَ
الْبِرُّ،كَذَاكَ الْبِرُّ، كَذَاكَ الْبِرُّ، وَكَانَ أَبَرَّ النَّاسِ بِأُمِّهِ “
Artinya: ”Dari Aisyah dia berkata,
Rasulullah saw bersabda, Aku telah bermimpi berada di dalam surga maka aku
mendengar seorang pembaca yang melantunkan bacaan. Akupun bertanya siapakah
dia? Maka malaikatpun menjawab dia adalah sahabat Haritsah bin an Nu’man. Maka
Rasulullah menjawab itulah berbakti. Itulah
berbakti. Dia adalah sebaik-baik manusia yang berbakti kepada ibunya”.(HR. al
Baihaqi)
Dari hadits di atas menjelaskan bahwa setiap manusia yang berbakti kepada
kedua orang tua akan mendapatkan jannah Allah.[7]
Oleh sebab itu marilah kita semua sebagai manusia selalu berlaku baik terhadap
kedua orang tua kita agar kita mendapatkan pahala-pahala birrul walidain.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjabaran di atas dapat ditarik
kesimpulan birrul walidain adalah berbuat baik kepada kedua orang tua serta
membuatnya bahagia tanpa jeda dengan mentaati segala reintahnya, menjaga amanat
dan selalu menolong kedua orang tua dalam kondisi apapun.
Kedudukan birrul walidain menempati posisi
yang sangat istimewa, sehingga berbuat baik kepada kedua orang tua juga
menempati posisi yang sangat mulia.
Yang harus dilakukan kita sebagai anak dalam
ber birrul walidain, adalah dengan menyikapi kedua orang tua dengan baik serta
menjaga perasaannya tanpa melukai hatinya ketika mereka masih hidup. Bukan
berbati ketika mereka sudah meninggal kita tidak menaati, tapi bisa dengan cara
lain seperti yang sudah dijelaskan dalam makalah ini.
B.
Saran
Dalam penulisan makalah ini kami memberi saran
kepada semua pembaca agar kita semua menghormati dan menyayangi orang tua kita
kapanpun dan dimanapun kita berada, selalu berbakti kepada kedua orang tua kita
dan janganlah kita durhaka kepada keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
Hajjaj , Muhammad Fauqi, Tasawuf Islam & Akhal,
Jakarta: Amzah, 2011
Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlak, Yokyakarta: LPPI,
2007
[2] Khoirin Nisai Shalihati “Etika Muslim Terhadap Kedua Orang Tua” dalam file:///C:/Users/Intel/Downloads/akhlak/materikunjuga%20halaman%203.html pada 15 September 2016
[4] Muhammad Fauqi Hajjaj, op.cit, hlm.281-283
[5] Ria Widia “Birrul Walidain Dan ‘Uququl
Walidain” dalam file:///C:/Users/Intel/Downloads/akhlak/materiku%20ada%20disini%20bentuk2%20birrul%20walidain.htm pada 18 September 2016
[6] Khoirin Nisai Shalihati “Etika Muslim Terhadap Kedua Orang Tua” dalam file:///C:/Users/Intel/Downloads/akhlak/materikunjuga%20halaman%203.html pada 15 September 2016
7 Khoirin Nisai Shalihati “Etika Muslim Terhadap Kedua Orang Tua” dalam file:///C:/Users/Intel/Downloads/akhlak/materikunjuga%20halaman%203.html pada 15 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar