Follow Us @soratemplates

Minggu, 06 November 2016

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

ALIRAN – ALIRAN FILSAFAT DAN TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Dosen Pengampu
Drs. Bahudji, M.Ag.

Disusun Oleh:
1.      Andri Prasetyo          (1501010241)
2.      Ardi Kiswmawan      (1501010244)
3.      Lailatul Khasanah    (1501010268)
4.      Filma Eka Santika    (1501010009)

Jurusan          : Tarbiyah
Prodi               : PAI
Kelas               : A







SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
TAHUN 2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
       Dalam filsafat di masa sekarang ini telah berkembang pesat. Mulai dari segi pendidikan hingga hidup bermasyarakat. Dengan adanya berbagai pemikiran, hingga terbentuklah berbagai macam aliran. Adapun pengertian filsafat itu sendiri yaitu kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; philosophia. Kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”. Dengan demikian segala sesuatu yang ada di alam semesta ini dapat di jadikan sebagai bahan pemikiran dimana saja dan kapan saja tanpa dibatai ruang dan waktu. Adanya filsafat pendidikan islam bermaksud untuk mengkaji pemikiran global berdasarkan asas dan nilai norma agama islam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian aliran perenialisme, aliran progresivisme, aliran esensialisme, aliran eksistensialisme, dan aliran rekontruksionalisme?
2.      Bagaimanakah ciri-ciri aliran perenialisme, aliran progresivisme, aliran esensialisme, aliran eksistensialisme, dan aliran rekontruksionalisme?
3.      Siapa sajakah tokoh yang berperan dalam aliran perenialisme, aliran progresivisme, aliran esensialisme, aliran eksistensialisme, dan aliran rekontruksionalisme?
4.      Bagaimanakah pandangan aliran tersebut dan penerapannya di bidang pendidikan?
5.      Bagaimanakah pandangan filsafat pendidikan islam mengenai aliran-aliran tersebut?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan pengertian aliran perenialisme, aliran progresivisme, aliran esensialisme, aliran eksistensialisme, dan aliran rekontruksionalisme.
2.      Menjelaskan ciri-ciri aliran perenialisme, aliran progresivisme, aliran esensialisme, aliran eksistensialisme, dan aliran rekontruksionalisme.
3.      Memaparkan tokoh-tokoh yang berperan dalam aliran perenialisme, aliran progresivisme, aliran esensialisme, aliran eksistensialisme, dan aliran rekontruksionalisme.
4.      Menjelaskan pandangan aliran tersebut dan penerapannya di bidang pendidikan.
5.      Menjelaskan pandangan filsafat pendidikan islam mengenai aliran tersebut.
6.      Untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Pendidikan Filsafat Islam.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    ALIRAN PROGRESIVISME
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progresivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Progresivisme dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen yang merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori. Progressivisme dinamakan environmentalisme karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian.
Aliran progresivisme memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan yang meliputi: Ilmu Hayat, bahwa manusia untuk mengetahui kehidupan semua masalah. Antropologi yaitu bahwa manusia mempunyai pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian dapat mencari hal baru. Psikologi yaitu manusia akan berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan, dan pengalaman-pengalamannya, sifat-sifat alam, dapat menguasai dan mengaturnya.
B.     Ciri – Ciri Aliran Progresivisme
Pendidikan dianggap mampu merubah dalam arti membina kebudayaan baru yang dapat menyelamatkan manusia bagi masa depan. Percaya bahwa manusia sebagai subyek yang memiliki kemampuan untuk menghadapi dunia dengan skill dan kekuatan mandiri.
Progress yang menjadi inti perhatiannya, maka ilmu pengetahuan yang dapat menumbuhkan kemajuan dipandang merupakan bagian-bagian utama dari kebudayaan, yaitu ilmu hayat, antropologi, psikologi dan ilmu alam.
Progresivisme adalah satu filsafat transisi antara dua konfigurasi kebudayaan yang besar. Progresivisme adalah rasionalisasi mayor daripada suatu kebudayaan yakni (1) perubahan yang cepat dari pola-pola kebudayaan Barat yang diwarisi dan dicapai dari masa ke masa, (2) perubahan yang cepat menuju pola-pola kebudayaan baru yang sedang dalam proses pembinaan untuk masa depan.
Progresivisme sebagai ajaran filsafat merupakan watak yang dapat digolongkan ke (1) negative and diagnostic yakni bersikap anti terhadap otoritarialisme dan absolutisme dalam segala bentuk, seperti agama, moral, sosial, politik dan ilmu pengetahuan, (2) positive and remedial yakni suatu pernyataan dan kepercayaan atas kemampuan manusia sebagai subyek yang memiliki potensi alamiah, terutama kekuatan-kekuatan self-regenarative (diperbaharui sendiri) untuk menghadapi dan mengatasi semua problem hidup.
C.    Tokoh-Tokoh Aliran Progresivisme
1.      William James (11 Januari 1842 – 26 Agustus 1910)
William James, seorang psychologist dan seorang filosuf Amerika yang sangat terkenal. Paham dan ajarannya demikian pula kepribadiannya sangat berpengaruh diberbagai negara Eropa dan Amerika. Meskipun demikian dia sangat terkenal dikalangan umum Amerika sebagai penulis yang sangat brilian, dosen serta penceramah di bidang filsafat, juga terkenal sebagai pendiri Pragmatisme.
James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dia menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan menempatkannya di atas dasar ilmu perilaku.
2.      John Dewey (1859 - 1952)
John Dewey adalah seorang profesor di universitas Chicago dan Columbia (Amerika). Teori Dewey tentang sekolah adalah “Progressivism” yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah “Child Centered Curiculum”, dan “Child Centered School”. Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas, bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan dan bukan persiapan masa yang akan datang.
3.      Hans Vaihinger (1852 - 1933)
Menurutnya, tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan obyeknya tidak mungkin dibuktikan; satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya (dalam bahasa Yunani Pragma) untuk mempengaruhi kejadian-kejadian di dunia. Segala pengertian itu sebenarnya buatan semata-mata; jika pengertian itu berguna. untuk menguasai dunia, bolehlah dianggap benar, asal orang tahu saja bahwa kebenaran ini tidak lain kecuali kekeliruan yang berguna saja.
D.    Pandangan Aliran Progesivisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
Aliran filsafat progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan pada abad ke-20, di mana telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebebasan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya, tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain, Oleh karena itu filsafat progresivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab, pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun psikis anak didik.
Adapun filsafat progresivisme memandang tentang kebudayaan bahwa budaya sebagai hasil budi manusia, dikenal sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang tidak beku, melainkan selalu berkembang dan berubah. Maka pendidikan sebagai usaha manusia yang merupakan refleksi dari kebudayaan itu haruslah sejiwa dengan kebudayaan itu.
Untuk itu pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi kebudayaan baru haruslah dapat menciptakan situasi yang edukatif yang pada akhirnya akan dapat memberikan warna dan corak dari output (keluaran) yang dihasilkan sehingga keluaran yang dihasilkan (anak didik) adalah manusia-manusia yang berkualitas unggul, berkompetitif, insiatif, adaptif dan kreatif sanggup menjawab tantangan zamannya.
E.     Tinjauan Pendidikan Islam Tentang Aliran Progresivisme
Filsafat pregresivisme mempunyai konsep bahwa manusia atau peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan suatu kelebihan dibandingkan dengan makhluk lain. Filsafat pendidikan mengakui bahwa peserta didik meman memiliki potensi akal yang dapat di kembangkan dan mengakui pula individu atau peserta didik pada dasarnya adalah insan yang aktif, kreatif, dan dinamis. Menurut hasan langgulung potensi manusia itu sebanyak sifat- sifat tuhan seperti yang terkandung di dalam asmaul husna.
Progresivisme menurut pemikiran John Dewey (salah seorang pelopor pregresivisme) tidak mengakui atau menghilangkan nilai-nilai absolutseperti yang didapat dalam agama, progresivisme hanya mengakui nilai –nilai cultural relativisme menjadi dasar pegangan dalam proses kependidikan. Sedangkan dalam dalam pendidikan islam proses pendidikan didasarkan kepada nilai- nilai absolut yang dapat membimbing pikiran,kecerdasan, dan kemampuan dasar untuk berkembang dan tumbuh.
F.     ALIRAN ESENSIALISME
Aliran Filsafat Esensialisme adalah suatu aliran filsafat yang menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama. Mereka beranggapan bahwa kebudayaan lama itu telah banyak memperbuat kebaikan-kebaikan untuk umat manusia. Yang mereka maksud dengan kebudayaan lama itu adalah yang telah ada semenjak peradaban manusia yang pertama-tama dahulu. Akan tetapi yang paling mereka pedomani adalah peradaban semenjak zaman Renaissance, yaitu yang tumbuh dan berkembang disekitar abad 11, 12, 13 dan ke 14 Masehi. Didalam zaman Renaissance itu telah berkembang dengan megahnya usaha-usaha untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan purbakala, terutama dizaman Yunani dan Romawi purbakala. Renaissance itu merupakan reaksi terhadap tradisi dan sebagai puncak timbulnya individualisme dalam berpikir dan bertindak dalam semua cabang dari aktivitas manusia. Sumber utama dari kebudayaan itu terletak dalam ajaran para ahli filsafat, ahli-ahli pengetahuan yang telah mewariskan kepada umat manusia segala macam ilmu pengetahuan yang telah mampu menembus lipatan qurun dan waktu dan yang telah banyak menimbulkan kreasi - kreasi bermanfaat sepanjang sejarah umat manusia.
Esensialisme modern dalam pendidikan adalah gerakan pendidikan yang memprotes terhadap skeptisisme dan sinisme dari gerakan progrevisme terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya/ sosial. Menurut Esensialisme, nilai-nilai kemanusiaan yang terbentuk secara berangsur-angsur dengan melalui kerja keras dan susah payah selama beratus-ratus tahun, dan didalamnya berakar gagasan-gagasan dan cita-cita yang telah teruji dalam perjalanan waktu.
Bagi aliran ini “Education as Cultural Conservation”, Pendidikan Sebagai Pemelihara Kebudayaan. Karena ini maka aliran Esensialisme dianggap para ahli “Conservative Road to Culture” yakni aliran ini ingin kembali kekebudayaan lama, warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan manusia. Esensialisme percaya bahwa pendidikan itu harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Karena itu esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama sehinga memberikan kestabilan dan arah yang jelas.

G.    Ciri - Ciri Aliran Esensialisme
Ciri-ciri filsafat pendidikan esensialisme yang disarikan oleh William C. Bagley adalah sebagai berikut :
1.      Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam diri siswa.
2.      Pengawasan pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah melekat dalam masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spsies manusia.
3.      Oleh karena kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka menegakan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
4.      Esensialisme menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang pendidikan, sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah.
H.    Tokoh – Tokoh Aliran Esensialisme
1.      Johan Frieddrich Herbart (1776-1841)
Ia berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebijaksanaan Tuhan artinya adanya penyesuaian dengan hukum kesusilaan. Proses untuk mencapai tujuan pendidikan itu oleh Herbart disebut pengajaran.
2.      William T. Harris (1835-1909)
Tugas pendidikan adalah menjadikan terbukanya realitas berdasarkan susunan yang tidak terelakkan dan bersendikan ke kesatuan spiritual sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang turun menurut, dan menjadi penuntun penyesuaian orang pada masyarakat.
3.      Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831)
Georg Wilhelm Friedrich HegelHegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikirnya Tuhan.
I.       Pandangan Aliran Esensialisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
Pandangan mengenai pendidikan yang diutarakan disini bersifat umum, simplikatif dan selektif, dengan maksud agar semata-mata dpat memberikangambaran mengenai bagian-bagian utama dari esensialisme. Disamping itu karena tidak setiap filsuf idealis dan realis mempunyai faham esensialistis yang sistematis, maka uraian ini bersifat eklektik.
Esensialisme timbul karena adanya tantangan mengenai perlunya usaha emansipasi diri sendiri, sebagaimana dijalankan oleh para filsuf pada umumnya ditinjau dari sudut abad pertengahan. Usaha ini diisi dengan pandangan-pandangan yang bersifat menanggapi hidup yang mengarah kepada keduniaan, ilmiah dan teknologi, yang ciri-cirinya telah ada sejak zaman Renaisans.
J.      Tinjauan Pendidikan Islam Tentang Aliran Esensialisme
Dasar dan tujuan filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya identik dengan dasar tujuan ajaran Islam itu sendiri, keduanya berasal dari sumber yang sama, Al-Qur'an dan Hadits Rasulullah.[1]Menurut Al-Syaibani, filsafat pendidikan Islam sebagaimana filsafat pendidikan umum, merupakan pedoman bagi perancang dan orang-orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran Islam. Filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya merupakan landasan dasar bagi penyusunan suatu sistem pendidikan Islam. Pemikiran-pemikiran filsafat pendidikan Islam menjadi pola dasar bagi para ahli pendidikan Islam mengenai bagaimana sistem pendidikan Islam yang dikehendaki dan sesuai dengan konsep ajaran Islam yang berhubungan dengan pendidikan.[2]
K.    ALIRAN PERENIALISME
Perenialisme diambil dari kata perennial, yang diartikan sebagai continuing throughout the whole yearatau lasting for a very long time, yang bermakna abadi atau kekal. Dari makna tersebut mempunyai maksud bahwa Perenialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal dan abadi (Khobir, 2009:62). Perenialisme memberikan pemecahan dengan jalan regressive road to culture, yaitu jalan kembali atau mundur kepada kebudayaan lama (masa lampau), kebudayaan yang dianggap ideal dan telah teruji ketangguhannya. Disinilah pendidikan mempunyai peranan yang penting dalam rangka mengembalikan keadaan manusia modern kepada kebudayaan masa lampau yang ideal tersebut.
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad ke-20. Perenialisme lahir dari suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialis menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosiokultural.
Solusi yang ditawarkan kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan abad pertengahan. Peradaban – kuno (Yunani Purba) dan abad pertengahan dianggap sebagai dasar budaya bangsa-bangsa di dunia dari masa ke masa dari abad keabad (Sa’dullah, 2009:151).
L.     Ciri – Ciri Aliran Perenialisme
Perenialisme mempunyai ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri itu adalah (Sadullah Uyoh,2004:23) :
  1. Perenialisme berakar pada tradisi filosofis klasik yang dikembangkan oleh plato, Aristoteles dan Santo Thomas Aquines.
  2. Sasaran pendidikan ialah kemampuan menguasai prinsip kenyataan, kebenaran dan nilai-nilai abadi dalam arti tak terikat oleh ruang dan waktu.
  3. Nilai bersifat tak berubah dan universal.
  4. Bersifat regresif (mundur) dengan memulihkan kekacauan saat ini melalui nilai zaman pertengahan (renaissance).

M.   Tokoh-Tokoh Aliran Perenialisme
1.      Plato (427-347 SM)
Plato (427-347 SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat dengan ketidakpastian, yaitu filsafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral merupakan sofisme adalah manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam moral, tidak ada kepastian dalam kebenaran, tergantung pada masing-masing individu. Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah. Realitas atau kenyataan-kenyataan itu tidak ada pada diri manusia sejak dari asalnya, yang berasal dari realitas yang hakiki. Menurut Plato, “dunia ideal”, bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Kebenaran, pengetahuan, dan nilai sudah ada sebelum manusia lahir yang semuanya bersumber dari ide yang mutlak tadi. Manusia tidak mengusahakan dalam arti menciptakan kebenaran, pengetahuan, dan nilai moral, melainkan bagaimana manusia menemukan semuanya itu. Dengan menggunakan akal dan rasio, semuanya itu dapat ditemukan kembali oleh manusia.
2.       Aristoteles (384-322 SM)
Aristoteles (384-322 SM), adalah murid Plato, namun dalam pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya, yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realism (realism klasik). Cara berfikir Aristoteles berbeda dengan gurunya, Plato, yang menekankan berfikir rasional spekulatif. Aristoteles mengambil cara berfikir rasional empiris realitas. Ia mengajarkan cara berfikir atas prinsip realitas, yang lebih dekat dengan alam kehidupan manusia sehari-hari.
N.    Pandangan Aliran Perenialisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
Pendidikan menurut  filsafat ini mesti membangun sejumlah mata pelajaran yang umum, bukan spesialis, liberal bukan vokasionalis, yang humanistik bukan teknikal. Dengan cara inilah pendidikan akan memenuhi fungsi humanistiknya, yakni pembelajaran secara umum yang mesti dimiliki oleh manusia (Alwasilah, 2008:104). Sebagai filsafat pendidikan umumnya, filsafat pendidikan Perenialisme juga mempengaruhi sekolah-sekolah modern sekarang, dimana pandangan-pandangan kurikulumnya mempengaruhi praktik pendidikan.
O.    Tinjauan Pendidikan Islam Tentang Aliran Perenialisme
Perenialis dalam konteks pendidikan dibangun atas dasar satu keyakinan ontologisnya bahwa batang tubuh pengetahuan yang berlangsung dalam ruang dan waktu ini mestilah terbentuk melalui dasar - dasar pendidikan yang diterima dalam kesejahteraannya. Reobert M Hutchins, salah seorang perenial menyimpulkan bahwa tugas pokok pendidikan salah pengganjaran.pengajaran menunjukkan pengetahuan, sedangkan pengetesan itu sendiri adalah kebenaran.  Prinsip dasar pendidikan bagi perenialis adalah membantu peserta didik menemukan dan menginternalisasikan kebenaran abadi, kerena memang kebenarannya mengandung sifat universal dan tetap. Dalam filsafat pendidikan islam kebenaran abadi tidak hanya diperoleh melalui latihan intelektual, tetapi juga bahkan yang lebih penting adalah intituisi atau qalb atau zhaung. 
Aliran ini meyakini bahwa pendidikan adalah transfer ilmu pengetahuan tentang kebenaran abadi. Filsafat pendidikan islam memandang bahwa suatu kebenaran yang hakiki dan abadi datangnya dari Allah. Dalam Filsafat pendidikan islam peserta didik hendaknya dapat menyesuaikan diri bukan pada kebenaran dunia saja, tetapi hendaknya pada kebenaran yang hakiki dan abadi yang datang dari Allah SWT.  Dalam rangka mencapai efisiensi pembelajaran pendidik harus memperhatikan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sayyid husen Nasr, Filosof islam kontemporer yang mengatakan bahwa manusia memiliki fitrah yang sama yang berpangkal pada sal kejadianya yang fitri yang berkonsekuensi pada watak kesucian dan kebaikan, sifatnya tidak berubah karena prinsip-prinsipnya mengandung kontinuitas dalam setiap ruang dan waktu.  Menurut ajaran islam setiap pribadi manusia dilahirkan membawa fitrah islamiah yang dapat dikembangkan ke arah perkembangan yang bercorak islamiah pula.
Perenialisme lebih cenderung pada subjek centered dam kurikulum maupun dalam metode dan pendekatan yang ditempuh dalam proses pembelajaran. Program pendidikan yang ideal menurut perenialisme adalah berorientasi pada potensi dasar agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi. Pola dan corak pendidikan yang sama dapat diterapkan kepada setiap manusia dimanapun dan kapanpun. Pendidikan islam mengakui adanya potensi dasar yang dimiliki manusia semenjak di lahirkan yang dapat dikembangkan melalui proses pendidikan. Perbedaanya terletak pada nilai nilai yang mendasarinya. Islam menghendaki agar perkembangan pribadi manusia melalui proses pendidikan itu dijiwai oleh nilai ketuhanan, yang sifatnya absolut sedangkan perenialisme dijiwai oleh nilai - nilai yang berkembang dalam sejarah kemanusiaan yang kebenaran tidak seabsolut nilai - nilai lahirilah (kebutuhan).
P.     ALIRAN REKONSTRUKSIONALISME
Kata rekonstruksionalisme berasal dari bahasa inggris Reconstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionalisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dengan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
Aliran rekonstruksionalisme pada prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern. Menurut Muhammad Noor Syam, kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran.
Meskipun demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran ini tidaklah sama dengan prinsip yang dipegang oleh aliran perenialisme. Keduanya mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan. Aliran perenialisme memilih cara tersendiri, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan lama (regressive road culture) yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu, aliran rekonstruksionalisme menempuhnya dengan jalan berupaya mem­bina suatu konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionalisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia atau agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionalisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru. Untuk tujuan tersebut diperlukan kerja sama antarumat manusia.
Dengan singkat dapat dikemukakan bahwa aliran rekonstruksionalisme bercita-cita untuk mewujudkan suatu dunia dimana kedaulatan nasional berada dalam pengayoman atau subordinate dari kedaulatan dan otoritas internasional.
Q.    Tokoh - Tokoh Aliran Rekonstruksionalisme
1.      Goerge Count dan Harold Rugg
Mereka bermaksud membangun masyarakat baru, masyarakat yang dipandang pantas dan adil. Ide gagasan mereka secara meluas dipengaruhi oleh pemikiran progresif Dewey; dan ini menjelaskan mengapa aliran Rekonstruksionalisme memiliki landasan filsafat pragmatism. Meskipun mereka banyak terinspirasi pemikiran Theodore Brameld, khususnya dengan beberapa karya filsafat pendidikannya, mulai dari ‘Pattern of Educational Philosophy (1950), Toward recunstucted Philosophy of Education (1956), dan Education of power (1965).
R.    Ciri – Ciri Aliran Rekonstruksionalisme
1.      Memberikan kesempatan pendidkan yang sama kepada setiap anak, tanpa membedakan ras, kepercayaan atau latarbelakang ekonomi
2.      Memberikan pendidkan tinggi
3.      Memuat sekolah-sekolah menjadi peranan sangat penting sebagai satu bagian dari kehidupan nasional kita yang akan menarik karena para gurunya adalah laki-laku dan perempuan dari zaman kita yang sangat bersemangat
4.      Menyusun sebuah program pemuda untuk anak-anak muda berusia 17 sampai dengan 23 tahun untuk membawa mereka dan sekolah aktif menuju pada berpartisifasi dalam masyarakat orang dewasa
5.      Mengusahakan penggunaan penuh dari perlengkapan sekolah dalam waktu di luar sekolah untuk pertemuan-pertemuan pemuda, kegiatan-kegiatan masayrakat, pendidikan orang dewasa
6.      Bekerja sama penuh dengan semua lembaga masyakat dan lembaga sosial menuju sebuah masyarakat demokratis yang sesungguhnya
7.      Terus memperluas penelitian dan eksperimentasi pendidikan
8.      Mengajak pemimpin masyarakat untuk menjadikan pendidkan sebagai bagian dari masyarakat dan masyarakat menjadi bagian dari sekolah

S.      Pandangan Aliran Rekonstruksionalisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
Filsafat bagi pendidikan adalah teori umum sehingga dapat menjadi pilar bagi bangunan dunia pendidikan yang berusaha memberdayakan setiap pribadi warga negara untuk mengisi format kebudayaan bangsa yang didinginkan dan diwariskan.Aliran rekonstruksionalisme adalah sepaham dengan aliran perenialisme dalam tindakan mengatasi kririsis kehidupan moderen.
Aliran rekonstruksionalisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Kemudian aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Sila-sila demokrasi yang sungguh bukan hanya teori tetapi mesti menjadi kenyataan, sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan. Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionalisme memandang alam metafisika merujuk dualisme, aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung dua macam hakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi dan hakikat rohani.Kedua macam hakikat itu memiliki ciri yang bebas dan berdiri sendiri, sarna dengan azali dan abadi, dan hubungan keduanya menciptakan suatu kehidupan dalam alam. Descartes, seorang tokohnya pernah menyatakan bahwa umumnya manusia tidak sulit menerima atas prinsip dualisme ini, yang menunjukkan bahwa kenyataan lahir dapat segera ditangkap oleh panca indera manusia, sementara itu kenyataan bathin segera diakui dengan adanya akal dan petasaan hidup. Di balik gerak realita sesungguhnya terdapatlah kausalitas sebagai pendorongnya dan merupakan penyebab utama atas kausa prima. Kausa prima, dalam konteks ini, ialah Tuhan sebagai penggerak sesuatu tanpa gerak, Tuhan adalah aktualitas murni yang sama sekalisunyi dan subtansi.
T.     Tinjauan Pendidikan Islam Tentang Aliran Rekonstruksionalisme
Dalam filsafat modern dikenal beberapa aliran-aliran diantaranya aliran rekontrusionisme di zaman modern ini banyak menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan manusia terutama dalam bidang pendidikan dimana keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran.
Untuk mengatasi krisis kehidupan modern tersebut aliran rekonstrusionisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
Oleh karena itu pada aliran rekonstruksionisme ini, peradaban manusia masa depan sangat di tekankan. di samping itu aliran rekonstruksionisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sebagainya. Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan, baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba di hadapan Khaliq-nya dan juga sebagai Khalifatu fil ardh (pemelihara) pada alam semesta ini. Dengan demikian, fungsi utama pendidikan adalah mempersiapkan generasi penerus (peserta didik) dengan kemampuan dan keahliannya (skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah lingkungan masyarakat. Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, peran pendidikan ini benar-benar bisa diaktualisasikan dan diaplikasikan tepatnya pada zaman kejayaan Islam, yang mana itu semua adalah sebuah proses dari sekian lama kaum muslimin berkecimpung dalam naungan ilmu-ilmu ke-Islaman yang bersumber dari Quran dan Sunnah. Hal ini dapat kita saksikan, di mana pendidikan benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam menjadi peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang jazirah Arab, Afrika, Asia Barat hingga Eropa timur. Untuk itu, adanya sebuah paradigma pendidikan yang memberdayakan peserta didik merupakan sebuah keniscayaan. Kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam pada masa ke-emasan sepanjang abad pertengahan, di mana kebudayaan dan peradaban Islam berhasil memberikan Iluminatif (pencerahan) jazirah Arab, Afrika, Asia Barat dan Eropa Timur, hal ini merupakan bukti sejarah yang tidak terbantahkan bahwa peradaban Islam tidak dapat lepas dari peran serta adanya sistem pendidikan yang berbasis Kurikulum Samawi.
Saat ini dirasakan ada keprihatinan yang sangat mendalam tentang dikotomi ilmu agama dengan ilmu umum. Kita mengenal dan meyakini adanya sistem pendidikan agama dalam hal ini pendidikan Islam dan sistem pendidikan umum. Kedua sistem tersebut lebih dikenal dengan pendidikan tradisional untuk yang pertama dan pendidikan modern untuk yang kedua. Seiring dengan itu berbagai istilah yang kurang sedap pun hadir ke permukaan, misalnya, adanya fakultas agama dan fakultas umum, sekolah agama dan sekolah umum. Bahkan dikotomi itu menghasilkan kesan bahwa pendidikan agama berjalan tanpa dukungan IPTEK, dan sebaliknya pendidikan umum hadir tanpa sentuhan agama.
Usaha untuk mencari paradigma baru pendidikan Islam tidak akan pernah berhenti sesuai dengan zaman yang terus berubah dan berkembang. Meskipun demikian tidak berarti bahwa pemikiran untuk mencari paradigma baru pendidikan itu bersifat reaktif dan defensive, yaitu menjawab dan membela kebenaran setelah adanya tantangan. Upaya mencari paradigma baru, selain harus mampu membuat konsep yang mengandung nilai-nilai dasar dan strategis yang produktif dan antisipat.
U.    ALIRAN EKSISTENSIALISME
Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Kier Kegard (Denmark:1813-1855). Inti masalahnya ialah: Apa itu kehidupan manusia? Apa tujuan dari kegiatan manusia? Bagaimana kita menyatakan keberadaban manusia? Pokok pemikirannya dicurahkan kepada pemecahan yang konkret terhadap persoalan arti “berada” mengenai manusia. Tokoh-tokoh lainnya yang kita kenal diantaranya: Martin Buber, Martin Heideger, Jean Paul Satre, Karl Jasper, Gabril Marcell, Paul Tillich. Tulisan-tulisan Jean Paul Satre (1905-1980), filosof Prancis terkenal, penulis, dan penulis naskah drama, menjadi yang paling bertanggung jawab untuk penyebaran gagasan-gagasan eksistensialisme yang luas. Menurut Satre (Parkay, 1998), setiap individu terlebih dahulu hadir dan kemudian ia harus memutuskan apa yang ada untuk dimaknai. Tugas menentukan makna keberadaan/eksistensi ada pada individu seseorang: tidak ada system keyakinan filosofis yang dirumuskan sebelumnya dapat mengatakan pada seseorang siapa orang itu. Ini sampai masing-masing dari kita memutuskan siapa kita adanya. Selanjutnya menurut Satre, “Eksistensi mendahului esensi. Terlebih dahulu, manusia ada, hadir, muncul di panggung, dan hanya setelah itu menentukan dirinya sendiri.
V.    Ciri – Ciri Aliran Eksistensialisme
Mengidentifikasi ciri Aliran Eksistensialisme sebagai berikut :
1.      Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
2.      Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualis terhadap konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.
3.      Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan massa.
4.      Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter (pemerinahan yang menindas hak pribadi dan mengawasi segala aspek kehidupan), baik gerakan fasis (golongan yang menganjurkan pemerintahan otoriter/sewenang),komunis (menghilangkan hak, dan dalam aturan negara atau atasan) , yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa.
W.  Tokoh - Tokoh Aliran Eksistensialisme
1.      Soren Aabye Kiekeegaard
Inti pemikirannya adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.
2.      Friedrich Nietzsche
Menurutnya manusia yang berkesistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
3.      Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
4.      Martin Heidegger
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
5.      Jean Paul Sartre
Menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri

X.    Pandangan Aliran Eksistensialisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan individulitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggungjawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi (1671) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan sangat erat dengan pendidikan karena keduanya bersinggungan satu sama lain pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan (kemerdekaan). Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
Kehidupan ini penuh dengan berbagai pelaksanaan kebiasaan dan pengulangan kegiatan secara rutin dari hari ke hari yang berlangsung tertib. Di dalam kebiasaan dan kegiatan yang dilakukan secara rutin itu, terdapat nilai-nilai atau norma-norma yang menjaditolak ukur tentang benar tidaknya sesuatu yang dilakukan oleh seseorang. Norma-norma itu terhimpun menjadi aturan yang harus dipatuhi, karena setiap penyimpangan atau pelanggaran, akan menimbulkan keresahan, keburukan dan kehidupan pun berlangsung tidak efektif atau bahkan tidak efisien. Dengan demikian berarti manusia dituntut untuk mematuhi berbagai ketentuan atau harus hidup secara berdisiplin, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakatnya.
Hakekat pendidikan menurut eksistensialisme dalam pendidikan adalah menghendaki agar pendidikan selalu melibatkan peserta didik dalam mencari pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing dan menemukan jati dirinya, karena masing-masing individu adalah makhluk yang unik dan bertanggung jawab atas diri dan nasibnya sendiri.lalu metode yang digunakannya adalah untuk mendorong siswa mengikuti proyek-proyek yang membantu mereka untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang di perlukan.
Eksistensialisme berpendapat bahwa pelajar adalah individu yang dapat mengembangkan potensinya masing-masing untuk mencapai jati dirinya. Sedangkan pengajar adalah pembimbing dan stimulator berfikir reflektif melalui panggilan pertanyaan-pertanyaan, bukan memberi intruksi, memiliki kejuruan ilmiah, integritas, dan kreatifitas serta figure yang tidak mencampuri perkembangan minat dan bakat siswa.
Y.    Tinjauan Pendidikan Islam Tentang Aliran Eksisitensialisme
Dalam bidang pendidikan, aliran eksisitensialisme menekankan agar masing – masing individu diberi kebebasan mengembangankan potesinya secara maksimal, tanpa batas (mutlak). Akibatnya kebebasan mutlak dapat menghilangkan eksistensi Tuhan sebagai pencipta dan pengatur kebebasan. Pada hahikatnya manusia dilahirkan sebagai seorang muslim yang segala gerak dan prilakunya cenderug berserah diri kepada Khaliknya. Manusia juga perlu meminta pertolongan pada kekuasaaan tertinggi (Allah).
Firman Allah SWT. “kepada-Mu aku menyembah dan kepada-Mu aku minta pertolongan” QS. Al-Fatihah : 4


BAB 3
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Dalam ilmu filsafat terdapat berbagai macam aliran yang memiliki pandangan yang berbeda, diantaranya yaitu, Aliran progresivisme yang beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian manusia. Aliran esensialisme yang beranggapan bahwa kebudayaan lama itu telah banyak memperbuat kebaikan-kebaikan untuk umat manusia. Aliran perenialisme yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal dan abadi untuk kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian manusia. Aliran rekontruksionalisme yang merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dengan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran eksistensialisme yang menjadikan manusia sebagai fokus pemikiran. Menurut para filsuf islam bahwa semua pemikiran universal harus berasaskan pedoman Islam, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.



DAFTAR PUSTAKA


Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Angkasa, 1995)

Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Askara, 1994)

Abdul Khobir.  2009.  Filsafat Pendidikan Islam. Pekalongan: STAIN Press.

Alwasilah, Chaedar. 2008. Filsafat: Bahasa Dan Pendidikan. Bandung: Rosda Karya.

Jalaluddin dan Abdullah Idi. 2007.  Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Uyoh, Sadullah. 2004. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Al Fabeta.

H.B. Hamdani Ali, M.A.M.Ed.1986. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Kota Kembang

Redja Mudyahardjo. 2001. Pengantar Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo

Mohammad Noor Syam. 1986. Fisafat Pendidikan Islam. Surabaya: Usaha Nasional

Dra. Zuhairini, dkk.1994. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

Prof. Imam Barnadib, M. A. Ph. D. 1990.Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset









[1]Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Pengembangan Pemikirannya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 19.
[2] Jalaluddin dan Abdullah Idi, op.cit., hlm. 38.

2 komentar:

  1. Muslim juga penting ya untuk menggunakan dalil aqli dan naqli untuk memperluas wawasan dan khasanah islam :)

    BalasHapus
  2. iya mbak filma terimaksih atas komentarnya, komentar anda bisa menjadi referensi baru untuk saya :)

    BalasHapus